Proses Pembentukan:
1. Tidak pernah ada konsultasi dengan gerakan masyarakat adat. Artinya melanggar hak masyarakat adat untuk berpartisipasi di dalam pembentukan hukum
2. Terkesan memanfaatkan situasi pandemic yang membatasi ruang pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum
Bertentangan dengan UUD 1945 dan Hukum HAM,dan juga anti demokrasi:
1. RUU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan penghormatan UUD 1945 terhadap masyarakat adat yang menjalankan tradisinya. Ini dibuktikan dengan hapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kebudayaan dan kearifan local masyarakat adat. Penghapusan pasal pengecualian tersebut dari UU PPLH jelas menunjukkan sikap anti terhadap masyarakat adat yang menjalankan kearifan local dan budayanya dalam mengelola wilayah adat.
2. Sikap anti demokrasi ditunjukkan oleh RUU Cipta Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan Kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat termasuk masyarakat adat. Sebelumnya UU Kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam Pasal 19 UU Kehutanan, yang oleh RUU Cipta Kerja dihapus.
Memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah adat:
1. Memang ada klausul yang menyatakan bahwa Ijin di atas wilayah adat baru bisa diberikan jika telah ada persetujuan antara masyarakat adat dan investasi. Tapi aturan ini tidak akan berjalan karena faktanya prosedur pengakuan masyarakat adat kembali diserahkan kepada kebijakan sectoral (KEMEN LHK, KEMAN ATR, KKP, KEMENDAGRI) yang berbelit belit, ego sektoral, dan saling mengeliminasi.
2. Dengan demikian, ketiadaan status hukum sebagai akibat dari tidak bekerjanya prosedur pengakuan itu akan berakibat pada perampasan wilayah adat secara massif untuk kepentingan investasi. Ini diatur misalnya di Pasal 22 (Isu Kelautan).Anehnya, RUU Omnibus Law hanya memberikan sanksi administrative bagi pemanfaatan usaha di Laut tanpa ijin usaha (Pasal 16A)
Ancaman Kriminalisasi terhadap MA:
1. Di dalam Pasal 69, RUU Cipta Kerja menghapus pengecualian bagi masyarakat adat untuk berladang dengan cara membakar sebagaimana sebelumhya telah diakui di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Dari data yang dirilis oleh AMAN, bersama PPMAN dan YLBHI jumlah kasus kriminalisasi masyarakat adat sepanjang tahun 2019 saja, berjumlah 63 kasus. Mayoritas dikenakan Pasal 108 Jo 69 UU Nomor 41 Tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan.Artinya RUU Cipta kerja tidak dibangun tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia masyarakat adat yang mana hak-hak itu telah diakui dalam berbagai instrument hukum nasional dan internasional.
Karpet merah kepada Investasi:
1. Ijin HGU 90 tahun. Ini artinya wilayah adat yang dirampas hanya baru ada kemungkinan untuk kembali ke masyarakat adat setelah 90 tahun. Perlu hampir 2 generasi.
2. RUU Cipta Kerja hanya memberikan sanksi administrative kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa ijin usaha (Pasal 82A)Dunia usaha yang melanggar Perijinan berusaha dan persetujuan pemerintah hanya dikenakan sanksi administrative. Pendek kata, tidak ada sanksi pidana kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa ijin atau yang melakukan pelanggaran terhadap ijin usahanya.
3. Pelaku usaha yang menggunakan (merampas) wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat adat hanya diberikan sanksi administrative (tidak ada sanksi pidana). Ini diatur dalam Pasal 22 cluster Sistem Budidaya Pertanian.
Ancaman terhadap Perda Masyarakat Adat:
1. Selama ini telah banyak Perda di Kabupaten/Kota, Provinsi yang memberikan pengakuan terhadap MA. Keberadaan berbagai Perda itu terancam dicabut oleh pemerintah melalui kewenangan yang diberikan oleh RUU Cipta Kerja jika keberadaan Perda-perda tersebut menghambat kewenangan pemerintah pusat dalam merubah kawasan hutan menjadi kawasan usaha dan dengan alas an menghalangi investasi.
2. Selain itu, kewenangan Pemerintah Daerah dalam memberikan ijin juga dihapus. Ini artinya ruang pengawasan masyarakat terhadap proses perijinan semakin tertutup. Juga prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menjadi tertutup.
3. Selain itu kewenangan untuk mencabut Perda ini pun bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pencabutan perda dan PP harus dilakukan dengan putusan Mahkamah Agung.
Pekerjaan Tradisional Masyarakat adat:
1. RUU Cipta Kerja ini juga berbahaya bagi masyarakat adat yang menjalankan pekerjaan tradisionalnya. Hal ini terjadi karena RUU Cipta Kerja secara umum mengatur kemudahan berinvestasi salah satunya melalui penyederhaan prijinan. Sementara di sisi lain proses pengakuan masyarakat adat masih diserahkan kepada kebijakan sectoral yang berbelit belit dan saling mengeliminasi.
2. Di tengah ketidakjelasan instrument pengakuan masyarakat adat, maka penyederhaan ijin untuk investasi sama saja dengan mempercepat penghilangan pekerjaan tradisional masyarakat adat dan secara umum mempercepat hilangnya penguasaan dan hak masyarakat adat atas ruang hidupnya. Padahal pekerjaan tradisional ini adalah salah satu hak yang diakui oleh ILO 111 yang juga telah diratifikasi oleh Negara Indonesia.