Membongkar Mitos, Mereka Ingin Ganja Dilegalkan di Indonesia
“Anak ini duduk di kursi roda sudah 14 tahun. Tiga hari pertama setelah memakai ekstrak ganja, tiba-tiba dia bisa menggerakkan jari, katanya.
Reza Gunadha | Erick Tanjung
Senin, 06 Mei 2019 | 08:15 WIB
Membongkar Mitos, Mereka Ingin Ganja Dilegalkan di Indonesia
[Suara.com/Emi Rohimah]
Tidak ada ciptaan Tuhan yang tak berguna, termasuk ganja, begitulah keyakinan mereka. Jalan yang diretas tidaklah mudah. Meski dianggap khayalan pemabuk hingga pengkhianat negara, mereka bertekad berjuang sampai ganja dilegalkan di Indonesia.
PETER Dantovski sempat berpikir dunianya sudah benar-benar berakhir pada tahun 1995, ketika ia terlibat kecelakaan yang menyebabkan tangan kanannya lumpuh.
Menurut dokter, tangan kanannya lumpuh akibat nyeri neopati kronis atau kerusakan pada syaraf. Setiap saat, ia terpaksa harus menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Hingga suatu ketika, Danto yang setengah putus asa mencoba menggunakan ganja setelah membaca sejumlah literatur kuno mengenai manfaat daun tersebut untuk pengobatan syaraf.
”Dua hari setelah menggunakan ganja, rasa sakit akibat kecelakaan itu berkurang,” tuturnya kepada Suara.com, Senin (29/4/2019).
Namun, penggunaan ganja untuk pengobatannya itu berakibat fatal. Ia sempat ditangkap aparat kepolisian atas tuduhan kepemilikan ganja. Alhasil, Danto terpaksa mendekam di bilik penjara sampai 4 tahun lamanya.
Sekeluarnya dari penjara, Danto bertekad untuk berjuang melegalisasi ganja untuk kepentingan medis di Indonesia. Ia ingin, pengguna ganja untuk pengobatan ke depan tak lagi dihukum.
Danto bersama rekan-rekannya lantas membentuk organisasi untuk perjuangan itu. Kekinian, Danto menjabat sebagai Ketua Ketua Riset Budaya Ganja Nusatara – Yayasan Sativa Nusantara.
Melawan Farmasi Global
Awan bergelayut di langit tanda siang itu cerah, ketika sejumlah orang asyik beraktivitas dalam sebuah rumah di kompleks perumahan kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan.
Salah satunya adalah lelaki sarungan yang berambut gondrong dan berkacamata. Ia sempat berbincang panjang lebar dengan tamunya, sebelum pamit sejenak untuk salat Zuhur, awal pekan lalu.
Dhira Narayana nama lelaki itu, pendiri sekaligus Ketua LGN, Lingkar Ganja Nusantara, yang getol mengampanyekan legalisasi ganja untuk kesehatan.
Sejumlah buku tentang ganja dijajarkan dalam rak di ruangan kantor tersebut. Satu mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi tampak sibuk melakukan riset pustaka untuk kepentingan skripsi.
Menurut si empu kantor, LGN banyak disambangi akademisi baik dari dalam maupun luar negeri, untuk keperluan penelitian tentang ganja.
LGN merupakan gerakan untuk mendorong legalisasi ganja di Tanah Air. Mereka ingin membongkar mitos dampak negatif ganja, yang bahkan oleh pemerintah dituangkan dalam Undang-undang Narkotika tahun 2009.
Bersama Yayasan Sativa Nusantara (YSN), mereka melakukan riset-riset ilmiah, mulai literatur hingga kajian lapangan tentang ganja atau yang disebut tanaman cannabis.
Dhira menceritakan, LGN lahir dari rahim sejumlah komunitas korban napza dan organisasi masyarakat sipil.
Awalnya, mereka fokus memperjuangkan para pengguna ganja untuk kepentingan medis yang dikriminalisasi melalui UU Narkotika.
Targetnya ketika itu merevisi UU Narkotika, karena penggunaan ganja dihukum paling berat dibanding narkoba lain seperti sabu atau ekstasi yang sarat bahan kimia.
Lama kelamaan, Dhira bersama rekan-rekannya menilai persoalan ganja terlalu sempit kalau hanya berkutat pada seputar isu narkotika.
Mereka terus melakukan kajian literatur dan lapangan mengenai pentingnya ganja untuk kepentingan medis dan kesehatan.
Bahkan, Dhira dan lainnya menginisiasi YSN, supaya bisa melakukan riset bersama pemerintah tentang manfaat dan kandungan ganja guna pengobatan.
Namun, dalam prosesnya ternyata tidak mudah. Banyak rintangan dalam melakukan riset ganja untuk kepentingan medis bersama pemerintah.
Salah satu kendalanya riset ganja itu adalah, berbenturan dengan kepentingan besar perusahaan farmasi.
“Kami melalui YSN sudah memunyai nota kesepahaman dengan Kementerian Kesehatan, namun belum ada implementasi di lapangan, karena ada kendala dari pihak pemerintah,” kata Dhira kepada Suara.com.
Padahal, sejumlah negara di Asia Tenggara sudah berlomba-lomba melakukan riset tentang ganja.
Ia menceritakan, baru-baru ini, sempat diundang oleh Pemerintah Malaysia untuk mempresentasikan penelitiannya tentang ganja.
Malaysia tengah mengembangkan riset tanaman ganja untuk kepentingan medis, dan rencananya dilegalkan.
Selain LGN dan YSN dari Indonesia, Malaysia juga mengundang para peneliti dari Kanada, Amerika Serikat , Belanda, Australia, Korea Selatan, dan sejumlah negara Eropa.
Namun, Dhira sudah membayangkan legalisasi ganja untuk medis di Malaysia itu nantinya juga menjadi bisnis perusahaan raksasa farmasi.
Dengan memakai sistem kapitalistik, maka Malaysia akan dibuat ketergantungan oleh industri farmasi global untuk memproduksi obat-obatan dari ganja.
Produk-produk ganja medis asing akan masuk. Pemerintah Malaysia diminta untuk mengubah regulasi mereka. Dokter-dokter di sana akan jadi agen obat farmasi yang kebijakannya dibuat pemerintah Malaysia.
Dalam hal ini, masyarakat dirugikan, karena tidak boleh menanam ganja untuk kepentingan medis sendiri di rumahnya.
Oleh sebab itu, legalisasi ganja yang diperjuangkan LGN dan YSN bukan seperti legalisasi ganja di Malaysia, Maroko, Belanda, dan lainnya.
Mereka memperjuangkan legalisasi ganja yang dikelola dengan prinsip-prinsip lokal. Sebab menurut LGN, percuma pemerintah melegalisasi ganja, kalau warganya dilarang menanam sendiri untuk keperluan pengobatan.
“Kami enggak mengadang industrialisasi tanaman ganja, tapi juga jangan warga menanam ganja untuk kepentingan obat, dilarang. Hakikat perjuangan kami, orang yang sakit berhak untuk berobat dengan dia memilih obat sendiri seperti dari tanaman ganja,” ucapnya.
***
Terjalnya jalan untuk melegalisasi ganja juga diakui oleh Direktur Eksekutif YSN Inang Winarso. Ia menuturkan, YSN sudah mendapat izin untuk meneliti ganja sebagai obat khususnya obat diabetes atau kencing manis.
Izin penelitian itu diberikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kesehatan pada 2016, yang ketika itu dipimpin oleh Tjandra Yoga Aditama.
“Waktu itu, Kemenkes telah memberikan izin untuk meneliti kandungan ganja di pusat penelitiannya di Tawamangu, Jawa Tengah. Tapi riset itu belum terimplementasi sampai sekarang,” tuturnya.
Belakangan, setelah Tjandra Yoga pensiun, Balitbang Kemenkes menegaskan penelitian soal ganja harus menunggu izin dari Badan Nasional Narkotika (BNN).
Agak ganjil, seakan-akan Kemenkes di bawah BNN. Padahal sesuai ketentuan hukum, pihak berwenang untuk perizinan penelitian adalah Balitbang Kemenkes. Oleh karena itu, Inang menilai pemerintah tidak serius mendukung penelitian ganja untuk kepentingan medis.
“Kami melihat pemerintah tidak mendukung penelitian tanaman cannabis (ganja) sebagai alternatif obat,” kata Inang.
YSN telah mengusulkan penelitian tanaman ganja pada akhir era pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, sampai rezim berganti menjadi Jokowi – Jusuf Kalla, permohonan penelitian itu tak tentu nasibnya.
Inang mencurigai pemerintah sengaja tidak mendukung penelitian ganja untuk kepentingan medis, karena bisa mengancam kepentingan bisnis farmasi asing.
Ia menduga, pusaran bisnis raksasa farmasi asing di Indonesia melibatkan elite dan pejabat pemerintah yang korup. Alhasil, hak dan kepentingan publik untuk mendapatkan obat yang murah dan alami, dikorbankan.
Ganja bisa jadi alternatif obat-obatan, mengingat persebaran tanamannya ada di berbagai daerah Indonesia, selain Aceh.
Obat dari tanaman ganja jauh lebih murah dan alami ketimbang obat-obat kimia produk industri farmasi. Apalagi saat ini sebanyak 90 persen obat di Indonesia bahan baku impor yang berharga mahal.
“Riset itu sengaja tidak didukung dan tidak diberi peluang, karena pemerintah terlibat dalam pengadaan obat impor dengan farmasi asing,” ungkapnya.
Dia menambahkan, penelitian organisasinya akan membongkar mitos di masyarakat yang menganggap ganja merugikan dan menimbulkan efek ketergantungan.
Tanaman ganja memiliki banyak manfaat dan kegunaan yang sudah menjadi tradisi bangsa Nusantara sejak dulu kala, seperti untuk obat diabetes, bumbu masakan, bahkan ritual keagamaan.
Ada ratusan riset ilmiah dari berbagai perguruan tinggi internasional yang menyebutkan tanaman ganja memiliki banyak manfaat untuk kesehatan dan obat-obatan.
Maka dari itu, menurutnya, penelitian di dalam negeri penting dilakukan, mengingat orang yang penyakit diabetes di Indonesia sangat tinggi.
Ganja bisa jadi alternatif obat untuk penyakit diabetes yang murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
Ini penting menurut mereka yang memperjuangkan legalisasi ganja. Sebab, setiap tahun, penderita penyakit diabetes di Indonesia meningkat.
Data Kemenkes tahun 2008 menunjukkan pasien diabetes mencapai 16 juta orang. Sedangkan berdasarkan data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), juga menunjukkan peningkatan jumlah kasus dan pelayanan diabetes di Indonesia.
Merujuk data JKN tahun 2014, terdapat 135.322 kasus pasien diabetes dengan pembiayaan Rp 700,29 miliar. Pada tahun 2017, jumlah itu meningkat, yakni322.820 kasus dengan pembiayaan Rp 1,877 triliun.
Sementara menurut Inang, harga obat-obatan kimia produksi industri farmasi asing 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan obat hasil tanaman ganja. Karenanya, jika obat dari ganja dilegalkan, bisnis industri farmasi asing terancam.
“Kami berharap pemerintah punya kecerdasan, jangan memelihara kebodohan. Dengan obat-obatan alami dari tanaman ganja, nanti harganya jauh lebih murah dan terjangkau bagi masyarakat. BPJS Kesehatan juga tidak defisit lagi,” jelasnya.
YSN berencana melakukan penelitian tanaman ganja secara swadaya, bekerja sama dengan perguruan tinggi.
Namun, mereka terkendala karena tanaman ganja di pusat penelitian Balitbang Kementerian Kesehatan di Tawamangu sudah tidak lagi ada.
Belum diketahui alasan kenapa tanaman ganja itu sudah tidak lagi ditanam di pusat penelitian pemerintah itu.
“Untuk laboratorium produksi tanaman cannabis, kami akan bekerja sama dengan perguruan tinggi di Syah Kuala Aceh. Untuk laboratorium pengobatan, bekerja sama dengan Universitas Kristen Indonesia di Jakarta,” terangnya.
Siswanto, Kepala Balitbang Kemenkes RI mengakui, riset LGN dan YSN itu harus menunggu rekomendasi BNN. Sebab, ganja dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika termasuk sebagai golongan 1.
Ia menjelaskan, Yayasan Sativa Nusantara sudah pernah mengajukan riset tanaman ganja untuk obat. Ia lantas mengarahkan YSN untuk bekerja sama dengan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Balitbangkes Kementerian Kesehatan di Tawamangu.
“Dari kesepakatan, YSN diminta membuat roadmap risetnya. Komponen mana yang kandidat obat, indikasi untuk apa. Lalu diminta menyusun roadmap, uji preklinik dan uji klinik. Sampai sekarang roadmap tersebut belum pernah disampaikan,” tuturnya.
Kalau roadmap riset sudah disusun, Siswanto memastikan bakal memberikan izin kepada yayasan tersebut untuk melakukan riset.
Ganja untuk Pengobatan
Ketua LGN Dhira Narayana mengungkapkan, obat-obatan produksi industri farmasi tidak ada yang organik, hampir semuanya mengandung bahan kimia.
Termasuk tanaman ganja untuk keperluan medis di dunia juga tidak ada yang organik, karena harus memenuhi standar kelembaban, menggunakan pupuk dan sebagainya.
Namun, khusus ganja di Indonesia untuk kepentingan medis, ia ingin dikembangkan secara organik dan bisa.
“Nah kami ingin tanaman ganja untuk kepentingan medis di Indonesia harus secara organik.”
Di Aceh misalnya, kata Dhira, ganja yang ditanam secara organik memunyai banyak manfaat, salah satunya digunakan untuk obat kencing manis.
Caranya, akar ganja direbus, lalu air rebusannya diminum satu loki. Air rebusan akar ganja itu telah ia uji coba untuk pengobatan pasiennya di Sulawesi, dan berhasil sembuh.
Sepengetahuannya, ekstrak tanaman ganja bisa untuk mengobati kanker payudara, kelenjar getah bening, kanker otak, kanker paru-paru, dan tuberkolosis (TBC).
“Ekstrak ganja juga berguna untuk mengobati asma, epilepsi, HIV-AIDS, dan sebagainya,” ungkapnya.
Dhira mengakui, LGN sudah banyak membantu orang-orang sakit memakai ekstrak ganja. Rata-rata, kondisi pasiennya membaik setelah mengonsumsi obat hasil ekstrak ganja.
“Saya melihat lansung hasilnya. Terutama pasien saya, seorang anak yang lumpuh otak sejak kecil di Yogyakarta. Anak ini badannya kaku semua, dia duduk di kursi roda sudah 14 tahun. Tiga hari pertama setelah memakai ekstrak ganja, tiba-tiba dia bisa menggerakkan jari,” katanya.
Bahkan, kata Dhira, ibu sang pasien bersedia memberikan kesaksian khasiat tanaman ganja untuk obat yang sempat dikonsumsi anaknya. Ibu pasien itu seorang petani di Sleman, Yogyakarta.
Kekinian, ibu pasien Dhira itu berharap ganja dilegalkan pemerintah sehingga bisa menanam untuk kebutuhan obat anaknya. Sebab, rata-rata stok ekstrak ganja mereka tak banyak.
“Pasien saya yang paling kecil orang Pamulang, Tangerang Selatan, umur 6 bulan. Dia epilepsi, terus pakai ekstrak ganja. Dia pakai sekitar 4 minggu, setelahnya sudah tidak pakai lagi, katanya sudah sehat,” ujar dia.
Dari Aceh hingga Ambon
Selain riset untuk kepentingan medis, LGN dan YSN tengah melakukan riset budaya ganja di Nusantara. Sebab, oleh pemerintah dan banyak pihak, para pengguna ganja—termasuk untuk pengobatan—distigma sebagai korban kebudayaan asing.
“Kami memperjuangkan tanam ganja untuk obat itu hasil benih dan tanaman sendiri. Jadi ini mau tak mau harus berangkat dari kajian budaya. Kalau tidak dari kajian budaya, kita tidak tahu benihnya seperti apa,” kata dia.
Selain di Aceh yang memunyai sejarah panjang penanaman ganja, daun tersebut ternyata bisa dibudidayakan di banyak daerah.
Menurut Dhira, ganja merupakan tanaman yang bisa tumbuh di mana saja di negeri ini, termasuk di Jakarta. Bahkan ditanam dalam pot juga bisa tumbuh subur.
Ganja bukan tanaman manja yang harus selalu disiram dan dirawat. Ibarat rumput, ia bisa tumbuh secara liar. Karenanya, kalau ganja dilegalkan, setiap warga bisa menanam di rumahnya masing-masing untuk kegunaan obat.
“Saya bilang ke teman-teman, kalau kamu bisa menanam tomat di negeri ini, kamu juga pasti bisa menanam ganja yang tumbuh subur di negeri ini. Itu saya yang jamin, termasuk untuk di rumah, seperti di Jakarta begini bisa tumbuh. Tidak perlu pakai pupuk, semuanya secara organik saja, alami,” jelasnya.
Selain di Aceh, yang memiliki budaya bertanam ganja adalah di Ambon, Maluku. Seorang tentara Hindia Belanda bernama Rhumpius penah melakukan penelitian tentang tanaman ganja di sana, yang dituangkan dalam berjudul “Herberium Amboinens”
Buku ini diterbitkan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia tahun 1741.
Penelitiannya itu menyebutkan terdapat 1.200 spesies tanaman asli tanah Ambon, salah satu tanaman yang dia temukan adalah ganja.
Di Ambon, sejak tahun 1400-an, ganja digunakan untuk obat berbagai macam penyakit, ritual doa dan seks.
Ada tiga jenis ganja di sana, yaitu sativa, indika dan liar. Tanaman ganja dibawa ke Ambon oleh orang-orang gujarat yang datang untuk berdagang dan mencari rempah-rempah.
“Sekarang terbalik, kita pergi ke Belanda untuk belajar tentang ganja. Dulu orang Belanda datang untuk riset tentang tanaman ganja ke sini,” tuturnya.
Sementara Ketua Ketua Riset Budaya Ganja Nusatara – Yayasan Sativa Nusantara, Peter Dantovski, rutin berkeliling daerah di Indonesia untuk meneliti kebudayaan rakyat bertanam ganja.
“Sudah setahun terakhir berkeliling ke daerah, untuk menggali tradisi-tradisi lokal yang memanfaatkan ganja. Proses penelitiannya juga masih berlangsung,” tuturnya.
Sejumput hasil penelitiannya menunjukkan, bangsa-bangsa penghuni Nusantara sejak abad ke-8 sudah mengakrabi ganja.
Sejak abad ke-8 pula, di Nusantara sudah ada tradisi memanfaatkan ganja baik untuk masakan, obat-obatan, seksualitas hingga kegiatan-kegiatan spiritual.
Temuan-temuannya itu ada yang berupa naskah kuno, relief, artefak, dan ukiran-ukiran di candi. Seperti di Candi Kendalisodo yang terletak di lereng Gunung Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur.
“Pada candi itu dulunya ada ritual doa menggunakan ganja. Petunjuk itu terlihat dari ukiran daun ganja di beberapa relief candi,” ungkapnya.
Kemudian di Gunung Bintan, Kepulauan Riau yang dipercaya masyarakat sebagai makam sosok pelaut legendaris Hangtuah. Masyarakat lokal mempercayai Hangtuah suka menggunakan ganja semasa hidup.
Sementara di Aceh, Danto menemukan kitab kuno yang disusun pada abad 14. Kitab itu menjelaskan tentang manfaat dan kegunaan ganja untuk obat kencing manis atau diabetes.
Melalui penelitian, Danto meyakini ganja mirip dengan kelapa, karena mulai dari akar, daun, batang sampai bijinya bermanfaat, tidak ada yang sia-sia.
Selain untuk obat-obatan, sejak dulu serat ganja sudah digunakan guna membuat tali pengikat kapal layar. Kekinian, ganja juga bisa menjadi bahan baku produk kosmetik kecantikan, tekstil dan sebagainya.
“Kekinian, pemegang monopoli terbesar bisnis pengolahan serat ganja adalah China. Mereka memproduksi serat ganja menjadi beragam produk, dari obat-obatan, tas, sepatu, dan kosmetik.”
LGN, sambungnya, akan membuat pusat informasi ganja di Indonesia. Ke depan, ia berharap tanaman ganja bisa menjadi penopang perekonomian arga maupun negara.
Kekinian, kata dia, Malaysia sedang mengintensifkan penelitian manfaat ganja untuk medis yang targetnya melegalisasi ganja.
“Sedangkan Thailand sudah lebih dulu maju, yakni melegalisasi ganja. Bahkan, Thailand juga membebaskan warga untuk menanam ganja sendiri untuk kepentingan pengobatan. Kami ingin Indonesia seperti itu.”